RADAR TEGAL – Indonesia adalah negara dengan beragam bahasa daerah. Bahkan, di satu wilayah yang berdekatan, ragam bahasa masyarakatnya bisa berbeda. Contohnya, dalam bahasa Jawa, ada dua jenis logat, yakni bahasa medok dan bahasa ngapak.
Bahasa medok adalah logat Jawa yang penuturnya adalah daerah Surakarta, Jogjakarta, dan sekitarnya. Sedangkan bahasa ngapak adalah logat dari daerah karesidenan Pekalongan dan karesidenan Banyumas.
Bahasa ngapak mempunyai ciri khas yang membuat logat ini unik, meskipun tidak lepas dari stigma yang cenderung negatif di mata orang awam. Ternyata, hal ini pun tidak lepas dari sejarah kerajaan Jawa di masa lampau.
Melansir dari Youtube TirtoID, inilah sejarah bahasa ngapak yang terbentuk di bawah pengaruh politik kerajaan Mataram.
BACA JUGA: Gethuk Goreng Sukaraja Banyumas, Begini sejarah Awal Mulanya Hingga Peroleh Warisan Budaya Nasional
Politik pemisahan kasta melalui bahasa ngapak
Penutur bahasa ngapak adalah masyarakat daerah karesidenan Pekalongan yang terdiri atas Pekalongan, Pemalang, Tegal, dan Brebes. Lalu, masyarakat daerah karesidenan Banyumas yaitu Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, dan Cilacap.
Oleh karenanya, bahasa ngapak disebut juga sebagai bahasa Jawa Banyumasan. Sebutan ini membedakan dengan jenis bahasa Jawa di daerah Solo, Jogja, dan sekitarnya, yang disebut sebagai bahasa Jawa baku.
Rupanya, bahasa Jawa baku ini sudah mengalami tahapan-tahapan perkembangan sejak zaman Pujangga Baru, yaitu abad ke-18. Sedangkan, bahasa ngapak sendiri adalah tahapan bahasa Jawa asli.
Perkembangan bahasa Jawa baku penyebabnya adalah berdirinya kerajaan-kerajaan di Jawa. Karena kultur feodalisme memberi kekuasaan besar golongan bangsawan, muncullah pemisahan kasta.
Di tahun 1586-1755, kerajaan Mataram menguasai Pulau Jawa. Selain militer, pembentukan kekuasaan juga melalui bahasa. Mereka membuat dialek Mataram untuk menciptakan bahasa elit bagi masyarakat lingkungan keraton.
Oleh karena itulah, bahasa Jawa baku berkembang di daerah keraton, yaitu Solo dan Jogja, dan daerah-daerah sekitarnya. Sementara itu, daerah Jawa Banyumasan tetap menggunakan dialek ngapak.
BACA JUGA: Tahukah Arti Sebenarnya Singkatan Jalan Tol? Ini Sejarah Panjangnya di Indonesia
Perbedaan dialek ngapak dan medok
Kedua dialek Jawa baku dan Jawa Banyumasan berbeda, meskipun sama-sama bahasa Jawa. Perbedaan paling ketara adalah ucapan vokal ‘a’ pada logat ngapak.
Misalnya, jika bahasa Jawa baku menyebut sega (nasi) dengan vokal ‘a’ menjadi ‘o’, jadi pengucapannya menjadi sego. Sedangkan Jawa Banyumasan tetap melafalkan vokal ‘a’ sebagai ‘a’, jadi pelafalannya sega.
Perbedaan lainnya ada pada penekanan huruf B, D, G, dan K di logat ngapak lebih tegas. Sedangkan dalam logat medok cenderung lebih halus atau samar-samar.
Ada sebuah stigma negatif di mana logat ngapak dipandang kasar karena aksen dan tindak tuturnya terkesan terbuka, blak-blakan, dan dalam interaksinya tidak terlalu mementingkan perbedaan status.
Apalagi dengan adanya pemisahan bahasa di mana dialek Mataram adalah bahasa dari kebudayaan tinggi. Ngapak pun jadi memiliki konotasi bahasa Jawa rendah, kasar, kampungan, ndeso, dan lain-lain.
Politik mataram rupanya berhasil, sebab konotasi itu masih ada di zaman sekarang. Representasi di media selalu menampilkan orang berbahasa ngapak sebagai orang yang kampungan dan menjadi objek komedi.
Alhasil, hal ini menimbulkan rasa minder bagi sebagian penutur Jawa Banyumasan. Logat ngapak menjadi bahan candaan dan olok-olok. Ini berdampak pada terancamnya bahasa daerah Jawa Banyumasan.
Kondisi ini terlihat miris, karena logat ngapak sejatinya adalah turunan bahasa Jawa asli atau kuno. Ini bisa menjadi motivasi bagi kita, penutur bahasa ngapak, untuk bangga dan mempertahankan bahasa daerah kita.***